Saung Ranggon, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi
Mungkin
banyak dari kita sebagai warga asli Bekasi masih belum tahu kalau kabupaten
Bekasi memiliki Cagar Budaya yang telah diresmikan oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa
Barat sebagai Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional
yaitu Saung Ranggon atau warga setempat sering menyebut “Rumah Tinggi”.
Situs cagar budaya yang terletak di
Kampung Cikedokan, Desa Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat ini sudah lama ada.
Menurut penuturan ibu Sri sebagai Juru Kunci keturunan ke-7, Saung Ranggon ini
yang saya temui di kediamanya menuturkan “Saung Ranggon dibangun kira-kira
abad-16, oleh Pangeran Rangga, putra Pangeran Jayakarta, salah seorang pejuang
yang melawan penjajahan Belanda. Pangeran Rangga datang dan kemudian menetap di
daerah ini. Saung ini kemudian terkenal dengan sebutan Saung Ranggon, ditemukan
oleh Raden Abbas tahun 1821. Dalam bahasa Sunda saung berarti rumah yang berada
di tengah ladang atau huma berfungsi sebagai tempat menunggu padi atau tanaman
palawija lainnya yang sebentar lagi akan dipanen. Saung ini merupakan bagian
dari basis perlawanan masyarakat Bekasi terhadap pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Bangunan ini diakui oleh masyarakat Bekasi, merupakan bangunan tertua
di sekitar Cikarang Barat bahkan di Bekasi”, Beliau pun menambahkan “Untuk sejarah lebih
lengkapnya saya juga belum banyak tahu karna buku sejarah Saung Ranggon ini
sedang di ketik ulang untuk dicetak agar pengunjung yang datang lebih mudah
mengetahui sejarah tentang Saung Ranggon ini”.
Saung
Rangon berdiri di atas tanah seluas 500 m², dengan ukuran bangunan seluas 7,6 m
x 7, 2 m dan tinggi bangunan dari permukaan tanah 2,5 m. Bentuk Saung Ranggon
adalah rumah panggung, menghadap ke arah selatan ditandai dengan penempatan
tangga pintu utama dengan 7 buah anak tangga untuk masuk ke dalam rumah
tersebut. Bagian dalam Saung Ranggon hanya merupakan ruangan terbuka dan tanpa
sekat pemisah antara ruangan, walaupun ada sebuah kamar.
Bentuk
atap Julang Ngapak (atap yang terdiri dari dua bidang miring) dengan penutupnya
dari sirap kayu. Dinding terbuat dari papan dan tidak mempunyai jendela. Pada
dinding terdapat bukaan selebar 30 cm yang ada di sebelah kiri dan kanan dengan
cara dinding bawah agak masuk ke dalam, sedangkan dinding atas berada di luar menempel
langsung pada langit-langit yang berfungsi sebagai ventilasi. Selain itu ada
juga bagian dinding yang terbuat dari bilik (bambu). Sedangkan rangka dan
tiang-tiang terbuat dari kayu. Pada bagian bawah bangunan (kolong bangunan)
terdapat tempat penyimpanan benda-benda pusaka yang dibentuk menyerupai sumur
(sekarang dibentuk lantai). Sementara sekeliling bangunan telah diberi pagar
besi setinggi 1,20 m.
Jika
ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Bekasi ini
ternyata memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan
rumah adat orang Bekasi ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya.
Terlihat pada hampir setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan
paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar-tiang
digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa,
sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau
daun rumia.
Hal
menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh sang rumah itu
sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan
kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di
komunitas dengan peradaban barbar.
Saung
Ranggon saat ini merupakan hasil renovasi-renovasi sebelumnya. Namun menurut
pengakuan kuncen Sri tetap memperhatikan dalam penggantian bahan dan tetap
memelihara pelestarian bangunan kuno ini. Masyarakat Cikedokan beranggapan
bahwa yang membangun Saung Ranggon adalah cikal bakal mereka, sehingga keberadaanya
Saung Ranggon sangat dihormati dan dipelihara dengan baik.
Tujuan
utama dari pembuatan Saung Ranggon sebagai tempat menyepi dan bersembunyi dari
kejaran pihak Belanda. Tapi di kemudian hari fungsi Saung Ranggon itu menjadi
tempat menyimpan berbagai benda pusaka, dan yang lebh unik lagi bahwa Saung
Ranggon kini menjadi tempat ziarah orang-oarng yang memerlukan ”bantuan” dalam
menghadapi kenyataan hidup. Tujuan orang berziarah tersebut bermacam-macam,
mulai dari keinginan untuk keselamatan, naik pangkat atau untuk meminta berkah
karena akan melakukan hajatan di rumahnya.
Ramainya Saung Ranggon oleh
pengunjung pada waktu-waktu tertentu terutama malam Jumat Kliwon, Sabtu Suro,
Maulid Nabi, Rajaban. Ritual yang dilakukan untuk karuhun dipimpin oleh kuncen
dengan memakai sarana untuk sesajen yaitu bunga-bunga dan buah-buahan yang
terdiri 7 macam yang dipersembahkan untuk para karuhun dengan memanjatkan
doa. Pada setiap bulan Maulid (Hijriah) dilakukan hajat ”Maulidan”, dengan
melakukan cuci pusaka dan dilanjutkan dengan hiburan jaipongan (Sunda Bekasi)
dan wayang kulit khas dari Bekasi (dengan budaya Betawi). Kegiatan hajat budaya
(cuci pusaka dan maulidan) dilakukan di halaman rumah Tradisional Saung Ranggon
dapat dijadikan sebagai daya tarik bila dikembangkan sebagai objek wisata
budaya. Selain itu juga Saung Ranggon ini sering dijadikan Tempat Rapat para
anggota Pemerintahan (Sarahsehan).
Nasib
Saung Ranggon sebagai Cagar Budaya di Kabupaten Bekasi ini pun masih butuh
perhatian lebih karena menurut penuturan ibu Sri, Pemerintah yang sekarang
kurang perhatian “Belum ada perhatian lebih dari pemerintah, paling setiap tiga
bulan sekali petugas kebersihan datang untuk membersihkan Saung Ranggon. Apalagi
pemerintahan yang sekarang, Bupati yang baru belum pernah datang, paling
anggotanya saja yang datang itu pun kalau mereka mau menggadakan rapat disini,
selebihnya kita harus mengajukan proposal untuk mendapatkan dana”. Beliau pun
menambahkan kembali “Itu musholah yang berada disamping itu adalah hasil swadaya
warga sekitar bukan dari pemerintah dan tempat wudhu simapinya belum kelar
dibangun karan tersendatnya dana, jadi kami harus mengupulkan swadaya dari
warga sekitar dan sumbangan dari pengunjung yang datang”.
Referensi :
Referensi :
0 Comments